.quickedit{display:none;}

Kamis, 22 Desember 2016

Hakikat Berpikir



Berpikir yang benar-benar berpikir tidak identik dengan berpikir dengan menghitung yang hakikatnya pemikiran hanya berhenti pada aspek kuantitatif dari realitas, pada aspek utilistik instrumental dari realitas. Dalam terminology sehari-hari dipakai istilah ratio yang berasal dari kata Latin reor yang berarti “menghitung”. Kadar kebenaran yang sesungguhnya dari realitas tidak mungkin terjangkau melalui berpikir dengan menghitung.
Berpikir yang benar-benar berpikir bukanlah berpikir dengan memvisualisasikan, membayangkan. Dalam berpikir dengan memvisualisasikan terkandung asumsi bahwa segala ha dapat dibuat visual, terkandung persepsi dasar bahwa the real is the physical. Hal yang lebih dalam dari realitas jasmani dengan sendirinya tidak terjangkau.

Dalam gaya berpikir dengan memvisualisasikan, realitas adalah yang dapat ditangkap oleh pancaindera, yang lainnya adalah tidak ada. Copy theory of reality (camera theory of reality) pada hakikatnya adalah pernyataan bahwa manusia adalah pasif, obyektof adalah pengingkaran kesertaan mutlak manusia subyek dalam kegiatan tahu.
Minatnya tidak pada realitas, tetapi pada pematoka realitas, pada manipulasi ide-ide, pada kejelasan, tetapi sekadar kejelasan jasmani inderani. Berpikir dengan membayangkan tidak mungkin bicara tentang hakikat realitas. Pendek kata, lebih banyak lagi kebearan yang tidak mungkin diungkap melalui berpikir dengan membayangkan.
Berpikir yang benar-benar berpikir, tidak identic dengan berpikir menjelaskan, karena  de facto berpikir dengan menjelaskan sekedar gerak pikiran diantara batas-batas yang sudah ditetapkan. Sedangkan rasionalits, logika validitas, metode-metodenya sudah pasti. Seluruh usaha adalah sekedar menggiring pikiran ke jalur tersebut. Berpikir dengan menghitung, berpikir dengan memvisualisasikan, dan berpikir dengan menjelaskan adalah bentuk-bentuk berpikir, tetapi sekedar tukilan dari berpikir yang benar-benar berpikir.
Dalam praktek terbatas tertentu, bentuk-bentuk tersebut tidak diragukan arti dan manfaatnya. Tetapi bilamana bentuk-bentuk tersebut disetarakan, tidak dilampaui bahkan diidentikkan dengan berpikir yang benar-benar berpikir, maka distorsi kadar kebenaran yang lebih kaya dari realitas merupakan bencana yang tidak dapat dihindarkan. Berbagai realitas tidak dapat dan tidak mungkin dipikirkan karena kadar kebenaran banyak hal tidak akan tamppak dan tampil dengan gaya-gaya berpikir secara menghitung, secara memvisualisasikan, secara menjelaskan.
Arti realitas tidak mungkin dapat dipikirkan dengan semestinya, realitas itu sendiri tidak dipikirkan. Ketiga gaya pemikiran tersebut (menghitung, memvisualisasikan, menjelaskan) tidak memunginkan untuk memikirkan pertanyaan tentang hakikat realitas dan hakikat manusia. Jelas bahwa berpikir yang benar-benar berpikir bukan bergerak diantara batas-batas yang sebelumya sudah dipastikan, tidak bertujuan untuk meregam, menguasai, memaksakan kekuasaan (teori-teori, metode-metode, system-sistem, dan sebagainya) pada realitas.
Realitas bukan hasil pikiran, bahasa bukan alat. Pikiran dan bahasa adalah ruang tempat terjadinya peristiwa realitas. Berpikir adalah tanggapan, jawaban, bukan sikap obyetivitas dan sikap mengambil jarak. Dan bahasa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
Berpikir bukan pilihan semua pihak pemikir, yang umumnya demi konvensi (dan demi enaknya), menggunakan istilah-istilah tertentu. Perlu selalu disadari bahwa pikiran bukan pertama-tama perbuatan kita, tetapi sesuatu yang menerpa menjumpai kita manakala realitas mengungkapkan diri pada pikiran kita. Didalam kenyataan, suatu konsep adalah peristiwa penjernihan atau penyelundupan suatu hal. Realitas bukanlah suatu konsep yang pasti, melainkan suatu peristiwa yang terjadi pada kita, sesuatu yang menjadi terang pada diri kita. Berbagai pandangan tentang realitas yang telah dipakai selama berabad-abad niscaya merupakan hasil cara realitas menampakkan diri dalam berbagai kesempatan. Kendati kita telah terpolakan dalam cara-cara berpikir dan logika tertentu, tetapi logika yang memperlakukan akal budi/pikiran dan bahasa sebagai alat sebagaimana umum terdapat dalam ilmu, berpikir yang benar-benar berpikir, pantang dilupakan. Orientasi-orientasi di atas mutlak perlu disadari di dalam praksis cara-cara berpikir dan logika yang hanya tukilan dari pikiran yang benar-benar berpikir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar