.quickedit{display:none;}

Kamis, 22 Desember 2016

Pikiran, Bahasa, Realitas, dan Sistem



Pikiran dan bahasa sesungguhnya merupakan tempat terjadinya peristiwa realitas. Dengan berpikir, manusia menyelesaikan peristiwa tersebut. Berpikir berarti membiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa bahasa. Kendati manusia senantiasa sudah berada didalam situasi interpretasi tertentu, realitaslah yang pada awalnya merupakan sumber dan awal mula pikiran. Oleh sebab itu, berpikir adalah menerima, sedangkan berterima kasih dan berbicara adalah mendengarkan. Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa realitas. Realitas tetap senantiasa merupakan suatu proses kedatangan serta suatu proses pemberian, sedangkan berpikir senantiasa merupakan proses berterimakasih. Proses perjalanan menuju bahasa merupakan proses berpikir. Mengapa demikian? Karena realitas tetap senantiasa berupa “hal yang tak kunjung habis dipikirkan” dan “hal yang tak kunjung selesai dikatakan”. Berpikir bukan pilihan semau-maunya pihak pemikir. Pikiran bahkan bukan hal pertama yang kita perbuat, tetapi sesuatu yang kita lakukan apabila realitas mengungkapkan pada pikiran kita.

Jadi, pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan. Realitas membutuhkan manusia, tetapi manusia bukanlah penguasa realitas, melainkan penuntun realitas. Pikiran kita membuat realitas untuk menjawabnya, dan kita menjawab pengaturan yang dating pada kita dari realitas tadi.
Realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir merupakan bahasa yang sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban terhadap kata suara realitas mencari ungkapannya yang tepat, sehingga realitas dapat menjadi bahasa, dan selanjutnya dapat dikomunikasikan. Bahsa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas kepadanya.
Dalam berkata yang benar-benar, realitas di-kata-kan. Dengan berpikir dan berkata-kata, manusia meng-kata-kan realitas, dang baru didalam peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran –bahasa dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpl. Tiada pikiran dan bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa.
Konsepsi tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding konvensi. Berpikir yang pada hakekatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak berhenti pada pola-pola, pada teori-teori, pada pagar-pagar, atau pada tembok-tembok system. System-sistem justru sering harus diterobos untuk dapat mendengar suara realitas secara lebih cermat. System mempunyai ciri totalisasi transformasi, dan antoregulasi yang memiliki logika validasi dan pola justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari bahwa setiap system tidak menyukai keterbukaan, dan pada hakekatnya tertutup. Maka untuk benar-benar berpikir, kita perlu mempertanyakan atau menerobos ketentuan-ketentuan tersebut.
Meskipun memperhatikan, pikiran yang benar-benar berpikir tidak terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bagaimana pun, harus mempertahankan kemerdekaannya untuk “membedah” system, menganalisis serta menguji keteguhan prinsip yang dipakai dengan orientasi: urusan pokok dalam berpikir adalah tampak dan tampilnya realitas. System bukan hal yang membuat sesuatu menjadi benar. Sesuatu itu dikatakan benar (baik) maka ditetapkan (ingat faham positivism moral dan positivism yuridis).
Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena diberi system. Bahkan suatu system yang sesuai ditumpangkan hanya sesudah dilakukan pandangan yan mendasar terhadap realitas. Hal ini pun senantiasa harus ditinjau kembali, sebab pandangan (mendasar) tentang realist tidak pernah final. Dimensi-dimensi baru, hal-hal baru yang lebih tepat, senantiasa dapat tampak dan tampil. Maka system yang ada juga harus dibongkar. Begitu seterusnya demi terungkapnya realitas secara semakin lebih tuntas, yang hakikatnya juga berarti semakin terungkapnya kadar realitas eksistensi manusia sendiri.
Yang sering menjadi masalah disini adalah tidak sesederapnya perubahan-perubahan yang harus diadakan dengan hasil-asil penetrasi pemikiran. Dan disini pulalah perlunya terkadang menjinakan pathos akan kebenaran. Sebab sering terjadi banyak orang yang tidak atau belum melihat kadar kebenaran hasil-hasil penetrasi pemikiran tersebut. Banyak orang masih sering memerlukan waktu, tambahan kekayaan jiwa, perubahan mentalitas untuk menangkap yang lain dari yang biasa, tetapi bukan tidak mungkin kadar kebenarannya lebih tinggi.
Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih baik karena pikiran yang lebih baik, lebih meng-kata-kan realitas, lebih mengungkapkan kadar kebenaran realitas. Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari. Pengingkaran terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki. Tetapi hendaknya selalu diinsyafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan tidak pernah habis dikatakan. Selalu terdapat suatu dunia yang lebih baik yang menanti untuk dibangun, ada keadilan yang lebih adil untuk dicapai, ada hari depan yang harus diwujudkan yang bersifat lebih pantas bagi manusia dan memungkinkan pengakuan yang lebih efektif dari manusia oleh manusia.

1 komentar: