Pikiran dan bahasa sesungguhnya merupakan tempat terjadinya
peristiwa realitas. Dengan berpikir, manusia menyelesaikan peristiwa tersebut.
Berpikir berarti membiarkan realitas terjadi sebagai peristiwa bahasa. Kendati
manusia senantiasa sudah berada didalam situasi interpretasi tertentu,
realitaslah yang pada awalnya merupakan sumber dan awal mula pikiran. Oleh
sebab itu, berpikir adalah menerima, sedangkan berterima kasih dan berbicara
adalah mendengarkan. Tugas pemikir adalah menjaga terjadinya peristiwa realitas.
Realitas tetap senantiasa merupakan suatu proses kedatangan serta suatu proses
pemberian, sedangkan berpikir senantiasa merupakan proses berterimakasih.
Proses perjalanan menuju bahasa merupakan proses berpikir. Mengapa demikian?
Karena realitas tetap senantiasa berupa “hal yang tak kunjung habis dipikirkan”
dan “hal yang tak kunjung selesai dikatakan”. Berpikir bukan pilihan
semau-maunya pihak pemikir. Pikiran bahkan bukan hal pertama yang kita perbuat,
tetapi sesuatu yang kita lakukan apabila realitas mengungkapkan pada pikiran
kita.
Jadi, pada dasarnya berpikir adalah suatu tanggapan. Realitas
membutuhkan manusia, tetapi manusia bukanlah penguasa realitas, melainkan
penuntun realitas. Pikiran kita membuat realitas untuk menjawabnya, dan kita menjawab
pengaturan yang dating pada kita dari realitas tadi.
Realitas sebagai pembangkit kegiatan berpikir merupakan bahasa yang
sejati. Kegiatan berpikir sebagai jawaban terhadap kata suara realitas mencari
ungkapannya yang tepat, sehingga realitas dapat menjadi bahasa, dan selanjutnya
dapat dikomunikasikan. Bahsa adalah jawaban manusia terhadap panggilan realitas
kepadanya.
Dalam berkata yang benar-benar, realitas di-kata-kan. Dengan
berpikir dan berkata-kata, manusia meng-kata-kan realitas, dang baru didalam
peng-kata-an inilah realitas dapat tampil dan tampak. Begitulah pikiran –bahasa
dan realitas senantiasa tidak berjauhan, senantiasa berkumpl. Tiada pikiran dan
bahasa tanpa realitas, tiada realitas tanpa pikiran dan bahasa.
Konsepsi tentang berpikir yang tidak dibatasi oleh dinding-dinding
konvensi. Berpikir yang pada hakekatnya bersifat membangun (konstruktif) tidak
berhenti pada pola-pola, pada teori-teori, pada pagar-pagar, atau pada
tembok-tembok system. System-sistem justru sering harus diterobos untuk dapat
mendengar suara realitas secara lebih cermat. System mempunyai ciri totalisasi
transformasi, dan antoregulasi yang memiliki logika validasi dan pola
justifikasi yang tertentu pula. Perlu disadari bahwa setiap system tidak
menyukai keterbukaan, dan pada hakekatnya tertutup. Maka untuk benar-benar
berpikir, kita perlu mempertanyakan atau menerobos ketentuan-ketentuan
tersebut.
Meskipun memperhatikan, pikiran yang benar-benar berpikir tidak
terikat pada jawaban-jawaban tertentu. Pikiran, bagaimana pun, harus
mempertahankan kemerdekaannya untuk “membedah” system, menganalisis serta
menguji keteguhan prinsip yang dipakai dengan orientasi: urusan pokok dalam
berpikir adalah tampak dan tampilnya realitas. System bukan hal yang membuat
sesuatu menjadi benar. Sesuatu itu dikatakan benar (baik) maka ditetapkan
(ingat faham positivism moral dan positivism yuridis).
Maka sesuatu itu benar (baik) bukan karena diberi system. Bahkan
suatu system yang sesuai ditumpangkan hanya sesudah dilakukan pandangan yan
mendasar terhadap realitas. Hal ini pun senantiasa harus ditinjau kembali,
sebab pandangan (mendasar) tentang realist tidak pernah final. Dimensi-dimensi
baru, hal-hal baru yang lebih tepat, senantiasa dapat tampak dan tampil. Maka
system yang ada juga harus dibongkar. Begitu seterusnya demi terungkapnya
realitas secara semakin lebih tuntas, yang hakikatnya juga berarti semakin
terungkapnya kadar realitas eksistensi manusia sendiri.
Yang sering menjadi masalah disini adalah tidak sesederapnya
perubahan-perubahan yang harus diadakan dengan hasil-asil penetrasi pemikiran.
Dan disini pulalah perlunya terkadang menjinakan pathos akan kebenaran. Sebab sering terjadi banyak orang yang tidak
atau belum melihat kadar kebenaran hasil-hasil penetrasi pemikiran tersebut. Banyak
orang masih sering memerlukan waktu, tambahan kekayaan jiwa, perubahan
mentalitas untuk menangkap yang lain dari yang biasa, tetapi bukan tidak
mungkin kadar kebenarannya lebih tinggi.
Manusia hendaknya tunduk kepada pikiran yang lebih baik karena pikiran
yang lebih baik, lebih meng-kata-kan realitas, lebih mengungkapkan kadar
kebenaran realitas. Adanya kebenaran formal tidak boleh diingkari. Pengingkaran
terhadap setiap kebenaran formal adalah suatu anarki. Tetapi hendaknya selalu
diinsyafi bahwa realitas tidak pernah habis dipikirkan dan tidak pernah habis
dikatakan. Selalu terdapat suatu dunia yang lebih baik yang menanti untuk
dibangun, ada keadilan yang lebih adil untuk dicapai, ada hari depan yang harus
diwujudkan yang bersifat lebih pantas bagi manusia dan memungkinkan pengakuan
yang lebih efektif dari manusia oleh manusia.
gak bisa di copy
BalasHapus