Individualisme
adalah salah satu paham yang paling sering dibahas sebagai karikatur
dalam banyak perdebatan di kalangan intelektual kita. Setiap kali
berbicara tentang paham ini, biasanya kita langsung berpikir tentang
egoisme, keserakahan, kompetisi yang amburadul dan semacamnya.
Polemik menarik yang diawali oleh Liddle (Kompas, 8/1) saya harap
dapat menjernihkan pandangan kita terhadap salah satu ide terpenting
dalam sejarah politik modern.
Dalam tulisan singkat ini saya ingin menguraikan salah satu aspek dari penolakan beberapa filsuf terhadap paham individualisme. Kemudian, saya mencoba menjelaskan dasar-dasar paham individualisme yang sebenarnya. Tujuan saya bukanlah untuk menyalahkan salah satu pihak, tapi menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya.
Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima individualisme, penggunaan kategori "Timur" atau "Barat" sudah amat membingungkan. Budiawan (Kompas, 2/2) misalnya, harus menekankan kecurigaannya terhadap anjuran Liddle dengan alasan bahwa klaim individualisme yang universalistik mungkin saja mengandung "napsu-napsu imperialistik." Budiawan khawatir bahwa di balik penyebaran individualisme, tersembunyi kepentingan kekuasaan Barat untuk menaklukan Timur. Yang cukup ironis adalah, dalam memperlihatkan kelemahan individualisme, Budiawan tidak menggunakan Serat Centini.
Utopia:
dari Plato ke Marx
Dasar
argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme,
bersumber pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis.
Jika harmoni ini tercapai, individu dan masyarakat tidak lagi perlu
dipertentangkan. Siapa yang tidak senang bila korupsi menghilang,
pemimpin tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan, dan setiap konflik
bisa diselesaikan dengan damai? Sejumlah pemikir, dengan cara
masing-masing, telah mencoba menjawab pertanyaan- pertanyaan seperti
yang sekarang kita ajukan.
Plato,
misalnya, menyimpulkan bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika
masyarakat dipimpin oleh tipe manusia philosopher-king (kira- kira
jenis pemimpin semacam Lee Kuan Yeuw dalam konteks sekarang; pemimpin
yang bersih dan berpikiran jernih). 2000 tahun setelah Plato.
Dalam salah satu dari sekian banyak bukuya, The Philosophy of Right,
Hegel
membagi kehidupan sosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama
adalah kehidupan dalam keluarga. Di sini manusia sejak kecil belajar
tentang otoritas, tanggung jawab dan cinta. Pada tingkat kedua adalah
kehidupan dalam masyarakat sipil. Jika pada tingkat pertama cirinya
didasarkan pada semangat kebersamaan dan tanggung jawab (dalam
hubungan ayah terhadap anak misalnya), maka pada tingkat kedua ini
cirinya yang utama adalah kompetisi dan pengejaran kepentingan diri
yang tak terkendali. Masyarakat sipil, buat Hegel,
adalah satuan-satuan tanpa bentuk yang terlalu didasarkan kepada
pengejaran kepentingan ekonomi. Dari tingkat kehidupan pertama yang
luhur dan penuh cinta, setelah dewasa manusia terpaksa harus terjun
ke dunia persaingan yang keras.
Untuk
mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan hadirnya negara
atau pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai
maka tahap kehidupan sosial yang ketiga tercapai. Di tahap ini
pendulum bergerak kembali, dari kompetisi kembali lagi ke harmoni.
Dan bagi Hegel,
yang menjadi motor penggerak dalam tahap ketiga ini adalah kaum
birokrat. Kaum ini oleh Hegel
disebut sebagai "kelas universal."
Dalam
perkembangan selanjutnya, Hegel
memberi inspirasi kepada dua kelompok pemikir, yaitu kaum Hegelian
kanan dan kiri. Kaum Kanan menggunakan ide negara korporatis Hegel
untuk membela sebuah argumen bahwa individu dan negara pada dasarnya
satu dan sebangun: kita tidak perlu melihat keduanya dalam hubungan
yang konfliktual. Yang diperlukan oleh individu karenanya bukanlah
jaminan hak-hak perorangan, tapi pelaksana kewajiban kepada negara,
pengabdian dan disiplin (karena pengaruh Hegel,
kira-kira hal seperti inilah yang dikatakan oleh Prof Supomo dalam
perdebatan penyusunan UUD 45 kita dulu).
Di
kiri, contoh yang terbaik adalah Karl Marx. Walaupun teori dia
ditujukan untuk "memutarbalikkan Hegel," tema-tema Hegelian
sangat kental terasa pada Marx. Berpijak pada pengertian Hegel
tentang masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas
sosial. Dari Hegel pula Marx mengambil tema tentang "sejarah
yang berakhir" di mana tidak ada lagi konflik-konflik yang
mendasar dalam masyarakat. Buat Hegel, seperti yang kita lihat di
atas, hal ini terjadi jika "kelas universal" telah mampu
mengatasi kelemahan dalam masyarakat sipil. Buat Marx,
konflik-konflik mendasar itu akan hilang jika kelas proletariat yang
juga dianggap kelas universal telah melakukan revolusi sosial dan
mendirikan negara komunis.
Di
sinilah harmoni itu terjadi: sebuah situasi di mana bahkan kehadiran
negara pun, sebagai pengatur masyarakat, tidak lagi diperlukan. Bagi
Marx seperti ditulisnya dalam The German Ideology, apa yang dilakukan
oleh manusia dalam harmoni total itu adalah "berburu di pagi
hari, memancing ikan di siang hari, beternak di sore hari, dan
berdiskusi setelah makan malam", tanpa harus menjadi pemburu,
pemancing, peternak dan kritikus.
Apa
yang membedakan Mubyarto beserta para pemikir besar di atas dengan
para filsuf dari tradisi individualisme dalam banyak hal bertumpu
pada perbedaan terhadap cita-cita kemasyarakatan. Para filsuf dari
tradisi individualisme, sejak John Locke, David Hume, Adam Smith
hingga Frederick Hayek menolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan
dan keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka
mencintai pertikaian dan membenci persaudaraan. Jauh dari itu. Buat
mereka impian-impian harmoni itu adalah mimpi yang terlalu indah,
yang jika dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya bagi
manusia umumnya. Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam
dua segi.
Segi
pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan
masyarakat. Buat paham individualisme masyarakat adalah kumpulan dari
banyak kepentingan yang berbeda dan sering bertentangan. Hal ini
adalah kenyataan alamiah. Yang harus dilakukan karenanya bukanlah
menentang alam.
Segi
kedua, yang menjadi dasar dari segi pertama di atas, adalah
penerimaan paham ini akan keterbatasan manusia. Bagi paham ini sangat
sedikit manusia yang mampu menjadi superhero, yang dalam bertindak
tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Paham ini
menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia jenis philosopher- king-nya
Plato,
atau kelas universalnya Hegel, atau kelas pendobraknya Lenin. Dengan
kata lain, paham ini tidak percaya bahwa kaum birokrat, misalnya,
adalah kelompok individu yang tidak lagi mempunyai kepentingan
apa-apa selain mengabdi masyarakatnya. Penguasa di mana pun adalah
juga manusia biasa, yang sebagai manusia dibatasi oleh
kepentingan-kepentingannya sendiri. Dengan demikian paham ini
menerima keterbatasan manusia bukan untuk mendorong meluasnya egoisme
dan kompetisi yang keras -- yang mereka lakukan adalah mencoba
menerima kenyataan apa adanya tentang sifat-sifat manusia.
Lenin
dan Mao seringkali berkata bahwa untuk mewujudkan cita- cita
masyarakat sosialis, diperlukan lahirnya tipe-tipe manusia baru, yang
senantiasa membela kepentingan umum dan melupakan kepentingan dirinya
sendiri. Buat paham individualisme, hal ini adalah utopia besar yang
berbahaya. Manusia selalu sama dari dulu dan sekarang: makhluk
rasional yang selalu bereaksi terutama terhadap hal-hal yang
berakibat langsung terhadapnya dan terhadap lingkungan terdekatnya.
Menciptakan manusia baru hanya bisa terjadi dengan menghancurkan
manusia itu sendiri. Buat paham ini, sejarah kelam Rusia di bahwa
Lenin dan Cina di bawah Mao adalah monumen sejarah yang mengingatkan
kita semua terhadap "biaya sosial" -- untuk menggunakan
bahasa Budiawan -- dari upaya penciptaan manusia baru tersebut.
Berangkat
dari dua segi argumen inilah para filsuf dari tradisi individualisme
membangun argumen dan konsep-konsep tentang perlunya demokrasi,
penegakan kekuasaan hukum, dan pemerintahan yang terbatas. Demokrasi,
misalnya, mereka anggap alternatif sistem pemerintahan yang terbaik
yang dapat meminimalkan dampak buruk yang diakibatkan oleh pengejaran
kepentingan dari individu-individu yang duduk di kursi kekuasaan.
Selain
itu, demokrasi juga mereka percaya sebagai sistem yang memungkinkan
perbedaan dalam masyarakat untuk tidak menjadi konflik yang terbuka
dan berdarah. Konsep-konsep penting inilah yang menjadi sumbangan
paling besar bagi sejarah politik modern dari para filsuf dalam
tradisi individualisme, dari John Locke hingga Frederick Hayek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar