.quickedit{display:none;}

Sabtu, 24 Januari 2015

Biografi Ali bin Abi Thalib



KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Putera Ka'bah
Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali, bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib.
Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat tangan, yang
sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang, inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikanoleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga BaniHasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi inisaudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah s.w.t.kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong. Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti "luhur".

Nama dan Gelarnya
Sesungguhnya, sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama "Ali" bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama "Haidarah", yang berarti "Singa". Satu nama yang diambil persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti "Singa".
Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama "Haidarah" ialah orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa nama "Haidarah" itu sesungguhnya pemberian ibunya sendiri. Bukti sejarah ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang, antara Imam Ali r.a. melawan Marhaban.
Dalam perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri dengan bait syairnya: "Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a. segera menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku inilah yang diberi nama Haidarah oleh ibuku!"
Hanya saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu "Ali". Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan "Abu Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!"
Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab" oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti tentang kekurangan dan kelemahan fitrahnya.
Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga terkenal dengan panggilan Abul Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang paling popular hingga sekarang ialah "Imam".

Di bawah Naungan Wahyu
Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya. Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang terkaya di kalangan Bani
Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang anaknya. Akupun akan mengambil seorang."
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setelah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya. Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w. menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w. Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.

Masa Kanak-kanak
Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan da'wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun. Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia 13 tahun pada waktu Rasul Allah s.a.w. memulai da'wahnya. Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali r.a. menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da'wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a. antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya. Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya, mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui beliau.
Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asuhannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da'wah membantu Rasul Allah s.a.w. pernah menerangkan, bahwa pada masa itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama Islam, selain rumah tangga Rasul Allah s.a.w. dan Khadijah r.a. "Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian" demikian kata Imam Ali r.a. Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: "Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain."

Masa Remaja
Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung menerima asuhan Rasul Allah s.a.w., tidak ada keraguan lagi, bahwa Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling dini menerima hidayah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud kepada-Nya. Para peneliti buku-buku riwayat akan menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.
Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da'wah Rasul Allah s.a.w. Menurut Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang hal itu sebagai berikut: "Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku. Kemudian berkata: "Hai Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi peringatan kepada kaum kerabatku yang terdekat. Aku merasa agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka melaksanakan perintah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh karena itu aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepadaku, "Hai Muhammad, jika engkau tidak berbuat seperti yang diperintahkan kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab kepadamu." Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku."
"Semua yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40 orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Setelah semuanya berkumpul, Rasul Allah s.a.w. memanggilku dan memerintahkan supaya makanan segera dihidangkan. Hidangan itu kusajikan. Rasul Allah s.a.w. mengambil sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: 'Silakan kalian makan, Bismillah!'
Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, mereka masing-masing makan dan minum sebanyak yang kuhidangkan."
"Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu Lahab berkata kepada hadirin dengan sinis: "Kalian benar-benar sudah disihir oleh saudara kalian!"
"Karena ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya aku diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala sesuatunya seperti kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada mereka: "Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seorang pemuda dari kalangan orang Arab, yang datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang kubawa kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku supaya mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah diantara kalian yang mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku?"
"Semua yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: "Aku !" Waktu itu aku seorang yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: "Ya, Rasul Allah, akulah yang menjadi pembantumu!" Beliau mengulangi ucapannya dan aku pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: "Inilah saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!" Semua yang hadir berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada Abu Thalib: "Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!"
Hadits yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu Ja'far At Thabary dalam bukunya "At Tarikh".
Itulah sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum muslimin, tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi yang bersedia hidup damai di bawah pemerintahan Islam.
Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu mengancam-ancam dan menuntut supaya Rasul Allah s.a.w. menghentikan da'wahnya, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu berani menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad s.a.w.

Rumah Tangga Serasi
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang lebih lima tahun sebelum bi'tsah. Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim. Setelah bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya bunda tercinta, Sitti Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.

Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a. benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan, bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khatab r.a. dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau. Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah s.a.w. Saat itu beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian bertanya: "Anda datang membawa berita apa?" Setelah duduk beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserahkan kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu untukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a. berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a. berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalahibarat debu bertaburan belaka!" Setelah berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah. Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.: "Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab: "Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah r.a. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?" "Dia saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w. Tercantum dalam banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu: "Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk. Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib. Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak mengutarakannya. Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!" Mendengar kata-kata Rasul Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk berkata: "Maafkanlah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa. Sesungguhnya Allah telah memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?'' . "Demi Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w. menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!" Demikian versi riwayat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwasanya Allah s.w.t. memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400 dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.

Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a. untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta" perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah tangga.


-sehelai baju kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah balai-balai;.
-dua buah kasur, terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah
bulu kambing);
-empat buah bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar buatan Hijr;
-sebuah gilingan tepung;
-sebuah ember tembaga;
-kantong kulit tempat air minum;
-sebuah mangkuk susu;
-sebuah mangkuk air;
-sebuah wadah air untuk sesuci;
-sebuah kendi berwarna hijau;
-sebuah kuali tembikar;
-beberapa lembar kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah (semacam jubah);
-dan sebuah kantong kulit tempat menyimpan air.



Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah Azzahra r.a. Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim, Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman, pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a. menyampaikan keinginannya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a. mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang lain. Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian merekabersama-sama menghadap Rasul Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.

Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w. telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w. Dua sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri. Rasul Allah s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat. Bahkan tidak jarang beliau bersama
Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan Sitti Fatimah r.a. Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya menangis,
Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk memperoleh kenikmatan di akhirat kelak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu berhenti diganti oleh ayahandanya
menggiling tepung bersama Imam Ali r.a. Masih banyak catatan sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya. Bilal menjelaskan: "Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang menggiling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut: "Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku menggiling gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata: "Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!" Hal-hal tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga suci di tengah-tengah masyarakat Islam.
Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-royong. Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan masyarakat yang dibangun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq. Itupun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a., ketiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya demikian erat dan serasi seperti mereka. Tak ada tauladan hidup sederhana yang lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri mengehendaki, kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau? Tetapi sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya. Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar, memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata, mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan: Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah s.a.w. Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberitahu oleh Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata: "Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah, yang akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan, kesederhanaan dan kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.

Putera-puteri
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w. dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya. Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua orang cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua "putera" beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan, melestarikan dan membangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupakan kekuatan penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali peranannya, dalam pertempuran di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil 'Ashiy. Ia anak perempuan iparnya sendiri, Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak perempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya. Setelah nikah dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a. dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik terakhir hayatnya. Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah As-Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin Mas'ud dan Muhayah binti Imruil Qeis. Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak. Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedangkan dalam buku "Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa'ad dalam bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebutnya 31 orang anak, dengan perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.

 PERANAN KEPAHLAWANAN
Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak". Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun, bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal dan mana yang tidak.
Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama 6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.
Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.
Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a. memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmu-ilmu Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla.
Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas.
Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar, kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman, seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita."

Membela Kebenaran
Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.
Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benar-benar mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan yang serba berat. Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a. selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan. berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a. menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah meninggalkan kampung halaman. Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah engkau takut mati?".
Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya R,asul Allah?"
"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu. Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah, aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasul Allah!"
Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan. Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.
Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya.
Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?"
"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang. Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?""Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula."Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiriberniat mengeluarkannya dari negeri ini? sekarang ia sudah keluar meninggalkan kalian!"
Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a., menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah. Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang
Wafat
Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menuju masjid, sesudah mengambil air sembahyang untuk melakukanshalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat mengenai kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.
Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tindakan balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu.
Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat melanjutkan perjuangan menghapus penderitaan manusia.
Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: "Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai selaput otak anda."
Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang penuh dengan pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Tarikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thalibiyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau kaum musyrikin tidak menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.
"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian penentang orang dzalim dan pembela orang madzlum."
"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua anak-anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendaknya kalian mengatur baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baik-baik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum. Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari perhitungan kelak."
"Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang siapa mengasuh anak yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang memakan harta anak yatim."
"Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur'an, jangan sampai kalian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiatkan, sampai kami menduga bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah Allah, masjid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hidup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipandang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, peliharalah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikanlah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Ramadhan, sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka."
"Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebenaran pimpinannya. Allah..., Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak mengada-adakan bid'ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengadaadakan bid'ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan bid'ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada mereka."
"Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut sertakan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baikbaik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum wanita dan para hamba sahaya."
Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan: "Dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah kalian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan menyelamatkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terhadap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma'ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak melimpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi."
"Hendaknya kalian saling berhubungan erat, saling tolong-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permusuhan."
"Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya kepada kalian dan kuucapkan pula Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh…"
Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Husin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya: "Apakah engkau sudah memahami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada kedua orang saudaramu?"
"Ya," jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah. "Kepadamu juga kuwasiyatkan," kata Imam Ali r.a. meneruskan: "hal yang sama seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun."
Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafiyah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. "Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai dia…" Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: "Perhatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti makananku dan minuman seperti minumanku!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar