KHALIFAH
ALI BIN ABI THALIB
Putera Ka'bah
Ketika itu hari Jum'at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi
Muhammad s.a.w. mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak
besar sekali, bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka'bah. Wanita yang
bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa sakitnya
bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib.
Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke dalam Ka'bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut
Fatimah bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah
mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang
shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia khawatir jika
suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf akan terganggu. Ia
tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan Baitullah, rumah Allah, Fatimah
merasa perutnya bertambah mulas. Disaat itu yang teringat di hati Fatimah ialah
bahwa rasa sakitnya akan berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah
segera mengangkat tangan, yang
sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan dengan
suara sayu tersengal-sengal berucap: "Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku bernaung
kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang dari-Mu. Aku
percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini. Maka demi pendiri
rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam perutku, aku mohon kepada-Mu untuk
dimudahkan kelahirannya".
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan
selamat. Bayi ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang,
inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam Ka'bah.
Kelahiran bayi ini hanya disaksikanoleh ayah bundanya saja. Kejadian yang luar
biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai penjuru. Berbondong-bondonglah
mereka, terutama keluarga BaniHasyim, datang ke Ka'bah, guna menyaksikan bayi
yang baru lahir. Di antara yang datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi
inisaudara misan beliau sendiri. Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian
bersama ayah-ibunya pulang ke rumah Abu Thalib.
Meskipun
bayi ini merupakan putera keempat, namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia
besar yang dilimpahkan Allah s.w.t.kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib
ini tercermin dari perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan
pesta walimah. Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong.
Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai penghormatan atas
kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib mengumumkan pemberian
nama "Ali" kepada puteranya yang baru lahir. "Ali" berarti
"luhur".
Nama dan
Gelarnya
Sesungguhnya,
sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama
"Ali" bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama
"Haidarah", yang berarti "Singa". Satu nama yang diambil
persamaannya dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti
"Singa".
Sementara
orang mengatakan, bahwa yang memberi nama "Haidarah" ialah
orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa nama
"Haidarah" itu sesungguhnya pemberian ibunya sendiri. Bukti sejarah
ini dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang,
antara Imam Ali r.a. melawan Marhaban.
Dalam
perang-tanding itu Marhaban mengagul-agulkan diri dengan bait syairnya:
"Aku inilah yang diberi nama Marhaban oleh ibuku!" Imam Ali r.a.
segera menukas dan melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: "Aku
inilah yang diberi nama Haidarah oleh ibuku!"
Hanya
saja nama yang diberikan ibunya menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya
dalam pesta walimah, yaitu "Ali". Ia lebih terkenal dengan nama Ali
bin Abi Thalib.
Ketika
di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan
"Abu Turab", yang artinya "Si Tanah". Pemberian julukan itu
erat kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang
tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w. sendiri.
Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil mengusap-usap punggungnya
guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya
berkata: "Duduklah, engkau hai Abu Turab!"
Nama
Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a. Ia sangat bangga bila dipanggil
dengan nama itu. Menurut Al Bashri, nama Abu Turab ini di kemudian hari oleh
orang-orang Bani Umayyah dijadikan bahan ejekan guna merendahkan martabat
Khalifah Imam Ali r.a. Mereka mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab"
oleh Rasul Allah s.a.w. merupakan bukti tentang kekurangan dan kelemahan
fitrahnya.
Disamping
nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga terkenal dengan panggilan Abul
Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera beliau, Al Hasan. Selain dari
nama-nama tersebut di atas; Imam Ali r.a. banyak sekali mendapat gelar dan yang
paling popular hingga sekarang ialah "Imam".
Di bawah Naungan
Wahyu
Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya
dilanda paceklik hebat. Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit
diperoleh. Bagi mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti
keluarga Abu Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga
dengan Sitti Khadijah binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi
pamannya yang telah memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa.
Bertahun-tahun beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti
suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa
beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut usia. Hati
beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk meringankan beban pamannya. Nabi
Muhammad s.a.w. mengetahui, bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau,
adalah seorang terkaya di kalangan Bani
Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya, Abbas mempunyai
kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk meringankan beban Abu
Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib. Kepada pamannya itu beliau
kemukakan betapa berat derita yang ditanggung Abu Thalib sebagai akibat
paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan, Nabi Muhammad s.a.w berkata: "Bagaimana
paman, kalau kita sekarang ini meringankan bebannya? Kusarankan agar paman
mengambil salah seorang anaknya. Akupun akan mengambil seorang."
Abbas bin Abdul Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad
s.a.w. Setelah melalui perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat
kesepakatan: Ja'far bin Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi
Thalib r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan
isteri beliau, Sitti Khadijah binti Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri
lingkungan keluarga yang baru ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi
Muhammad sendiri dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga
Abu Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti Khadijah
binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar
saudara misan, malahan dalam pergaulan sudah merupakan saudara kandung.
Lebih-lebih setelah dua orang putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah,
meninggal. Betapa besar kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera
pamannya itu dapat diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan
Abu Thalib kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi'tsah, Nabi
Muhammad s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang
terletak dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki
bukit-bukit sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan
Allah s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya kehidupan
di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya untuk menghadapi
kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau mengikuti perkembangan
yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam kehidupannya. Sungguh merupakan saat yang
sangat menguntungkan bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam
lingkungan keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan
Imam Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w.
menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat kesempatan yang
paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun juga, ketika Nabi
Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t. untuk mendapat tugas sejarah yang
maha penting itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan
ibadah kepada Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan
kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu. Imam Ali r.a. menyaksikan juga
betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi kebiasaan minum
khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata kepala sendiri Imam Ali
r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Nabi Muhammad
s.a.w. Semua warisan yang telah diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya,
kini berkembang mekar di hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana,
yaitu putera pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang
menghubungkan diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai
melakukan da'wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat
mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun.
Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah berusia
13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh Abul Qasyim Al
Balakhiy.
Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak dipersoalkan oleh penulis
sejarah, karena ada kaitannya dengan penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama
Islam di masa kanak-kanak ataukah setelah akil baligh. Tampaknya riwayat yang
lebih kuat mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia 13 tahun pada waktu
Rasul Allah s.a.w. memulai da'wahnya. Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w. menerima
tugas da'wah Ilahiyah, Imam Ali r.a. menyambutnya tanpa bimbang dan ragu. Hal
itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung hidup di bawah
naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ketika itu tidak mudah difahami
Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara pelaksanaan risalah dan beban
tanggung jawab yang harus dipikulnya sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t.
supaya melakukan da'wah secara terbuka dan terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut
ambil bagian sebagai pembantu. Imam Ali r.a. antara lain menyampaikan
seruan-seruan Rasul Allah s.a.w. kepada sejumlah orang tertentu di kalangan
anggota-anggota keluarganya. Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam
riwayatnya mengemukakan, bahwa Imam Ali r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa
Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang mau
menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya, mengenai nikmat
kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada umat manusia melalui
beliau.
Untuk itu Rasul Allah s.a.w. menyampaikan da'wahnya lebih dahulu
kepada anggota-anggota keluarga yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri
Sitti Khadijah r.a. dan saudara misan asuhannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada
dua orang itu, barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Imam Ali r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan
tugas da'wah membantu Rasul Allah s.a.w. pernah menerangkan, bahwa pada masa
itu tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam agama
Islam, selain rumah tangga Rasul Allah s.a.w. dan Khadijah r.a. "Dan
akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung cahaya wahyu dan
risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian" demikian kata Imam Ali
r.a. Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui
sebuah riwayat memberitahukan kapan datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia
mengatakan: "Ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu
sebelum orang lain."
Masa Remaja
Dari
sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung menerima asuhan Rasul Allah
s.a.w., tidak ada keraguan lagi, bahwa Imam Ali r.a. merupakan orang yang
paling dini menerima hidayah Ilahi, paling dulu beriman dan bersujud
kepada-Nya. Para peneliti buku-buku riwayat akan menemukan kenyataan tersebut
dan dapat mengetahuinya dengan jelas.
Dalam
masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da'wah Rasul Allah s.a.w.
Menurut Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah menceritakan tentang
hal itu sebagai berikut: "Setelah turun ayat 214 Surah Asy Syura (perintah
Allah kepada Rasul-Nya supaya memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau
memanggil aku. Kemudian berkata: "Hai Ali, Allah telah memerintahkan
supaya aku memberi peringatan kepada kaum kerabatku yang terdekat. Aku merasa
agak sedih, sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka melaksanakan
perintah itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh karena itu
aku diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepadaku, "Hai Muhammad,
jika engkau tidak berbuat seperti yang diperintahkan kepadamu, Tuhan akan
menjatuhkan adzab kepadamu." Oleh karena itu, hai Ali, buatlah makanan.
Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu sewadah besar. Setelah itu
kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib. Mereka hendak kuajak bicara dan akan
kusampaikan apa yang diperintahkan Allah kepadaku."
"Semua
yang diperintahkan beliau kepadaku, kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota
keluarga Bani Abdul Muttalib kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir
kurang lebih 40 orang. Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w.,
seperti Abu Thalib, Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Setelah semuanya berkumpul,
Rasul Allah s.a.w. memanggilku dan memerintahkan supaya makanan segera
dihidangkan. Hidangan itu kusajikan. Rasul Allah s.a.w. mengambil sepotong
daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau mempersilakan mereka
mulai menikmati hidangan: 'Silakan kalian makan, Bismillah!'
Mereka
semua makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Demi Allah, mereka masing-masing
makan dan minum sebanyak yang kuhidangkan."
"Ketika
Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh Abu Lahab. Abu
Lahab berkata kepada hadirin dengan sinis: "Kalian benar-benar sudah
disihir oleh saudara kalian!"
"Karena
ucapan Abu Lahab semua yang hadir pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya
aku diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan segala
sesuatunya seperti kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya, Nabi Muhammad
s.a.w. berkata kepada mereka: "Hai Bani Abdul Mutthalib. Demi Allah, aku
tidak pernah mengetahui ada seorang pemuda dari kalangan orang Arab, yang
datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang kubawa
kepada kalian. Untuk kalian aku membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan
aku supaya mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah diantara kalian yang
mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku, penerima
wasiatku dan khalifahku?"
"Semua
yang hadir bungkam. Hanya aku sendiri yang menjawab: "Aku !" Waktu
itu aku seorang yang paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi:
"Ya, Rasul Allah, akulah yang menjadi pembantumu!" Beliau mengulangi
ucapannya dan aku pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w.
kemudian memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: "Inilah
saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!" Semua yang hadir
berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir serentak kepada
Abu Thalib: "Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad) menyuruhmu supaya taat
kepada anakmu!"
Hadits
yang senada dengan apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan
oleh Abu Ja'far At Thabary dalam bukunya "At Tarikh".
Itulah
sekelumit riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi
pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh kaum
muslimin, tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani dan kaum Yahudi
yang bersedia hidup damai di bawah pemerintahan Islam.
Di
depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu mengancam-ancam dan menuntut
supaya Rasul Allah s.a.w. menghentikan da'wahnya, Imam Ali r.a. yang masih
remaja itu berani menyatakan dukungan dan bantuannya kepada Nabi Muhammad
s.a.w.
Rumah
Tangga Serasi
Lahirnya Sitti Fatimah Azzahra r.a. merupakan rahmat yang
dilimpahkan llahi kepada Nabi Muhammad s.a.w. Ia telah menjadi wadah suatu
keturunan yang suci. Ia laksana benih yang akan menumbuhkan pohon besar
pelanjut keturunan Rasul Allah s.a.w. Ia satu-satunya yang menjadi sumber
keturunan paling mulia yang dikenal umat Islam di seluruh dunia. Sitti Fatimah
Azzahra r.a. dilahirkan di Makkah, pada hari Jumaat, 20 Jumadil Akhir, kurang
lebih lima tahun sebelum bi'tsah. Sitti Fatimah Azzahra r.a. tumbuh dan
berkembang di bawah naungan wahyu Ilahi, di tengah kancah pertarungan sengit
antara Islam dan Jahiliyah, di kala sedang gencar-gencarnya perjuangan para
perintis iman melawan penyembah berhala.
Dalam keadaan masih kanak-kanak Sitti Fatimah Azzahra r.a. sudah
harus mengalami penderitaan, merasakan kehausan dan kelaparan. Ia berkenalan
dengan pahit getirnya perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan. Lebih dari
tiga tahun ia bersama ayah bundanya hidup menderita di dalam Syi'ib, akibat
pemboikotan orang-orang kafir Qureiys terhadap keluarga Bani Hasyim. Setelah
bebas dari penderitaan jasmaniah selama di Syi'ib, datang pula pukulan batin
atas diri Sitti Fatimah Azzahra r.a., berupa wafatnya bunda tercinta, Sitti
Khadijah r.a. Kabut sedih selalu menutupi kecerahan hidup sehari-hari dengan
putusnya sumber kecintaan dan kasih sayang ibu.
Ijab-Kabul Pernikahan
Sitti Fatimah Azzahra r.a. mencapai puncak keremajaannya dan
kecantikannya pada saat risalah yang dibawakan Nabi Muhammad s.a.w. sudah maju
dengan pesat di Madinah dan sekitarnya. Ketika itu Sitti Fatimah Azzahra r.a.
benar-benar telah menjadi remaja puteri.
Keelokan parasnya banyak menarik perhatian. Tidak sedikit pria
terhormat yang menggantungkan harapan ingin mempersunting puteri Rasul Allah
s.a.w. itu. Beberapa orang terkemuka dari kaum Muhajirin dan Anshar telah
berusaha melamarnya. Menanggapi lamaran itu, Nabi Muhammad s.a.w. mengemukakan,
bahwa beliau sedang menantikan datangnya petunjuk dari Allah s.w.t. mengenai
puterinya itu.
Pada suatu hari Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khatab r.a.
dan Sa'ad bin Mu'adz bersama-sama Rasul Allah s.a.w. duduk dalam mesjid beliau.
Pada kesempatan itu diperbincangkan antara lain persoalan puteri Rasul Allah
s.a.w. Saat itu beliau bertanya kepada Abu Bakar Ash Shiddiq r.a.: "Apakah
engkau bersedia menyampaikan persoalan Fatimah itu kepada Ali bin Abi
Thalib?"
Abu Bakar Ash Shiddiq menyatakan kesediaanya. Ia beranjak untuk
menghubungi Imam Ali r.a. Sewaktu Imam Ali r.a. melihat datangnya Abu Bakar Ash
Shiddiq r.a. dengan tergopoh-gopoh dan terperanjat ia menyambutnya, kemudian
bertanya: "Anda datang membawa berita apa?" Setelah duduk
beristirahat sejenak, Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. segera menjelaskan
persoalannya: "Hai Ali, engkau adalah orang pertama yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya serta mempunyai keutamaan lebih dibanding dengan orang
lain. Semua sifat utama ada pada dirimu. Demikian pula engkau adalah kerabat
Rasul Allah s.a.w. Beberapa orang sahabat terkemuka telah menyampaikan lamaran
kepada beliau untuk dapat mempersunting puteri beliau. Lamaran itu oleh beliau
semuanya ditolak. Beliau mengemukakan, bahwa persoalan puterinya diserahkan
kepada Allah s.w.t. Akan tetapi, hai Ali, apa sebab hingga sekarang engkau belum
pernah menyebut-nyebut puteri beliau itu dan mengapa engkau tidak melamar untuk
dirimu sendiri? Kuharap semoga Allah dan Rasul-Nya akan menahan puteri itu
untukmu."
Mendengar perkataan Abu Bakar r.a. mata Imam Ali r.a.
berlinang-linang. Menanggapi kata-kata itu, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu
Bakar, anda telah membuat hatiku goncang yang semulanya tenang. Anda telah
mengingatkan sesuatu yang sudah kulupakan. Demi Allah, aku memang menghendaki
Fatimah, tetapi yang menjadi penghalang satu-satunya bagiku ialah karena aku
tidak mempunyai apa-apa."
Abu Bakar r.a. terharu mendengar jawaban Imam Ali yang memelas
itu. Untuk membesarkan dan menguatkan hati Imam Ali r.a., Abu Bakar r.a.
berkata: "Hai Ali, janganlah engkau berkata seperti itu. Bagi Allah dan
Rasul-Nya dunia dan seisinya ini hanyalahibarat debu bertaburan belaka!" Setelah
berlangsung dialog seperlunya, Abu Bakar r.a. berhasil mendorong keberanian
Imam Ali r.a. untuk melamar puteri Rasul Allah s.a.w.
Beberapa waktu kemudian, Imam Ali r.a. datang menghadap Rasul
Allah s.a.w. yang ketika itu sedang berada di tempat kediaman Ummu Salmah.
Mendengar pintu diketuk orang, Ummu Salmah bertanya kepada Rasul Allah s.a.w.:
"Siapakah yang mengetuk pintu?" Rasul Allah s.a.w. menjawab:
"Bangunlah dan bukakan pintu baginya. Dia orang yang dicintai Allah dan
Rasul-Nya, dan ia pun mencintai Allah dan Rasul-Nya!"
Jawaban Nabi Muhammad s.a.w. itu belum memuaskan Ummu Salmah
r.a. Ia bertanya lagi: "Ya, tetapi siapakah dia itu?" "Dia
saudaraku, orang kesayanganku!" jawab Nabi Muhammad s.a.w. Tercantum dalam
banyak riwayat, bahwa Ummu Salmah di kemudian hari mengisahkan pengalamannya
sendiri mengenai kunjungan Imam Ali r.a. kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu:
"Aku berdiri cepat-cepat menuju ke pintu, sampai kakiku terantuk-antuk.
Setelah pintu kubuka, ternyata orang yang datang itu ialah Ali bin Abi Thalib.
Aku lalu kembali ke tempat semula. Ia masuk, kemudian mengucapkan salam dan
dijawab oleh Rasul Allah s.a.w. Ia dipersilakan duduk di depan beliau. Ali bin
Abi Thalib menundukkan kepala, seolah-olah mempunyai maksud, tetapi malu hendak
mengutarakannya. Rasul Allah mendahului berkata: "Hai Ali nampaknya engkau
mempunyai suatu keperluan. Katakanlah apa yang ada dalam fikiranmu. Apa saja
yang engkau perlukan, akan kauperoleh dariku!" Mendengar kata-kata Rasul
Allah s.a.w. yang demikian itu, lahirlah keberanian Ali bin Abi Thalib untuk
berkata: "Maafkanlah, ya Rasul Allah. Anda tentu ingat bahwa anda telah
mengambil aku dari paman anda, Abu Thalib dan bibi anda, Fatimah binti Asad, di
kala aku masih kanak-kanak dan belum mengerti apa-apa. Sesungguhnya Allah telah
memberi hidayat kepadaku melalui anda juga. Dan anda, ya Rasul Allah, adalah
tempat aku bernaung dan anda jugalah yang menjadi wasilahku di dunia dan
akhirat. Setelah Allah membesarkan diriku dan sekarang menjadi dewasa, aku ingin
berumah tangga; hidup bersama seorang isteri. Sekarang aku datang menghadap
untuk melamar puteri anda, Fatimah. Ya Rasul Allah, apakah anda berkenan
menyetujui dan menikahkan diriku dengan dia?"
Ummu Salmah melanjutkan kisahnya: "Saat itu kulihat wajah
Rasul Allah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum beliau berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: "Hai Ali, apakah engkau mempunyai suatu bekal maskawin?'' . "Demi
Allah", jawab Ali bin Abi Thalib dengan terus terang, "Anda sendiri
mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak anda
ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah pedang
dan seekor unta."
"Tentang pedangmu itu," kata Rasul Allah s.a.w.
menanggapi jawaban Ali bin Abi Thalib, "engkau tetap membutuhkannya untuk melanjutkan
perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau juga butuh untuk keperluan
mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau memerlukannya dalam perjalanan
jauh. Oleh karena itu aku hendak menikahkan engkau hanya atas dasar maskawin
sebuah baju besi saja. Aku puas menerima barang itu dari tanganmu. Hai Ali
engkau wajib bergembira, sebab Allah 'Azza wajalla sebenarnya sudah lebih
dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku menikahkan engkau di bumi!"
Demikian versi riwayat yang diceritakan Ummu Salmah r.a.
Setelah segala-galanya siap, dengan perasaan puas dan hati
gembira, dengan disaksikan oleh para sahabat, Rasul Allah s.a.w. mengucapkan
kata-kata ijab kabul pernikahan puterinya: "Bahwasanya Allah s.w.t.
memerintahkan aku supaya menikahkan engkau Fatimah atas dasar maskawin 400
dirham (nilai sebuah baju besi). Mudah-mudahan engkau dapat menerima hal
itu."
"Ya, Rasul Allah, itu kuterima dengan baik", jawab Ali
bin Abi Thalib r.a. dalam pernikahan itu.
Rumah Tangga Sederhana
Maskawin sebesar 400 dirham itu diserahkan kepada Abu Bakar r.a.
untuk diatur penggunaannya. Dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., Abu Bakar
r.a. menyerahkan 66 dirham kepada Ummu Salmah untuk "biaya pesta"
perkawinan. Sisa uang itu dipergunakan untuk membeli perkakas dan peralatan rumah
tangga.
-sehelai baju
kasar perempuan;
-sehelai kudung;
-selembar kain
Qathifah buatan khaibar berwarna hitam;
-sebuah
balai-balai;.
-dua buah kasur,
terbuat dari kain kasar Mesir (yang sebuah berisi ijuk kurma dan yang sebuah
bulu kambing);
-empat buah
bantal kulit buatan Thaif (berisi daun idzkir);
-kain tabir
tipis terbuat dari bulu;
-sebuah tikar
buatan Hijr;
-sebuah gilingan
tepung;
-sebuah ember
tembaga;
-kantong kulit
tempat air minum;
-sebuah mangkuk
susu;
-sebuah mangkuk
air;
-sebuah wadah
air untuk sesuci;
-sebuah kendi
berwarna hijau;
-sebuah kuali
tembikar;
-beberapa lembar
kulit kambing;
-sehelai 'aba-ah
(semacam jubah);
-dan sebuah
kantong kulit tempat menyimpan air.
Sejalan dengan itu Imam Ali r.a. mempersiapkan tempat kediamannya
dengan perkakas yang sederhana dan mudah didapat. Lantai rumahnya ditaburi
pasir halus. Dari dinding ke dinding lain dipancangkan sebatang kayu untuk
menggantungkan pakaian. Untuk duduk-duduk disediakan beberapa lembar kulit
kambing dan sebuah bantal kulit berisi ijuk kurma. Itulah rumah kediaman Imam
Ali r.a. yang disiapkan guna menanti kedatangan isterinya, Sitti Fatimah
Azzahra r.a. Selama satu bulan sesudah pernikahan, Sitti Fatimah r.a. masih
tetap di rumahnya yang lama. Imam Ali r.a. merasa malu untuk menyatakan
keinginan kepada Rasul Allah s.a.w. supaya puterinya itu diperkenankan pindah
ke rumah baru. Dengan ditemani oleh salah seorang kerabatnya dari Bani Hasyim,
Imam Ali r.a. menghadap Rasul Allah s.a.w. Lebih dulu mereka menemui Ummu Aiman,
pembantu keluarga Nabi Muhammad s.a.w. Kepada Ummu Aiman, Imam Ali r.a.
menyampaikan keinginannya.
Setelah itu, Ummu Aiman menemui Ummu Salmah r.a. guna
menyampaikan apa yang menjadi keinginan Imam Ali r.a. Sesudah Ummu Salmah r.a.
mendengar persoalan tersebut, ia terus pergi mendatangi isteri-isteri Nabi yang
lain. Guna membicarakan persoalan yang dibawa Ummu Salmah r.a., para isteri
Nabi Muhammad s.a.w. berkumpul. Kemudian merekabersama-sama menghadap Rasul
Allah s.a.w. Ternyata beliau menyambut gembira keinginan Imam Ali r.a.
Suami-Isteri Yang Serasi
Sitti Fatimah r.a. dengan perasaan bahagia pindah ke rumah
suaminya yang sangat sederhana itu. Selama ini ia telah menerima pelajaran
cukup dari ayahandanya tentang apa artinya kehidupan ini. Rasul Allah s.a.w.
telah mendidiknya, bahwa kemanusiaan itu adalah intisari kehidupan yang paling
berharga. Ia juga telah .diajar bahwa kebahagiaan rumah-tangga yang ditegakkan
di atas fondasi akhlaq utama dan nilai-nilai Islam, jauh lebih agung dan lebih
mulia dibanding dengan perkakas-perkakas rumah yang serba megah dan mewah.
Imam Ali r.a. bersama isterinya hidup dengan rasa penuh
kebanggaan dan kebahagiaan. Dua-duanya selalu riang dan tak pernah mengalami
ketegangan. Sitti Fatimah r.a. menyadari, bahwa dirinya tidak hanya sebagai
puteri kesayangan Rasul Allah s.a.w., tetapi juga isteri seorang pahlawan
Islam, yang senantiasa sanggup berkorban, seorang pemegang panji-panji
perjuangan Islam yang murni dan agung. Sitti Fatimah berpendirian, dirinya
harus dapat menjadi tauladan. Terhadap suami ia berusaha bersikap seperti sikap
ibunya (Sitti Khadijah r.a.) terhadap ayahandanya, Nabi Muhammad s.a.w. Dua
sejoli suami isteri yang mulia dan bahagia itu selalu bekerja sama dan saling
bantu dalam mengurus keperluan-keperluan rumah tangga. Mereka sibuk dengan
kerja keras. Sitti Fatimah r.a. menepung gandum dan memutar gilingan dengan
tangan sendiri. Ia membuat roti, menyapu lantai dan mencuci. Hampir tak ada
pekerjaan rumah-tangga yang tidak ditangani dengan tenaga sendiri. Rasul Allah
s.a.w. sendiri sering menyaksikan puterinya sedang bekerja bercucuran keringat.
Bahkan tidak jarang beliau bersama
Imam Ali r.a. ikut menyingsingkan lengan baju membantu pekerjaan
Sitti Fatimah r.a. Banyak sekali buku-buku sejarah dan riwayat yang melukiskan
betapa beratnya kehidupan rumah-tangga Imam Ali r.a. Sebuah riwayat
mengemukakan: Pada suatu hari Rasul Allah s.a.w. berkunjung ke tempat kediaman
Sitti Fatimah r.a. Waktu itu puteri beliau sedang menggiling tepung sambil
melinangkan air mata. Baju yang dikenakannya kain kasar. Menyaksikan puterinya
menangis,
Rasul Allah s.a.w. ikut melinangkan air mata. Tak lama kemudian
beliau menghibur puterinya: "Fatimah, terimalah kepahitan dunia untuk
memperoleh kenikmatan di akhirat kelak"
Riwayat lain mengatakan, bahwa pada suatu hari Rasul Allah
s.a.w. datang menjenguk Sitti Fatimah r.a., tepat: pada saat ia bersama suaminya
sedang bekerja menggiling tepung. Beliau terus bertanya: "Siapakah di
antara kalian berdua yang akan kugantikan?"
"Fatimah! " Jawab Imam Ali r.a. Sitti Fatimah lalu
berhenti diganti oleh ayahandanya
menggiling tepung bersama Imam Ali r.a. Masih banyak catatan
sejarah yang melukiskan betapa beratnya penghidupan dan kehidupan rumah-tangga
Imam Ali r.a. Semuanya itu hanya menggambarkan betapa besarnya kesanggupan
Sitti Fatimah r.a. dalam menunaikan tugas hidupnya yang penuh bakti kepada
suami, taqwa kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Ada sebuah riwayat lain yang menuturkan betapa repotnya Sitti
Fatimah r.a. sehari-hari mengurus kehidupan rumah-tangganya. Riwayat itu
menyatakan sebagai berikut: Pada satu hari Rasul Allah s.a.w. bersama sejumlah
sahabat berada dalam masjid menunggu kedatangan Bilal bin Rabbah, yang akan
mengumandangkan adzan sebagaimana biasa dilakukan sehari-hari. Ketika Bilal
terlambat datang, oleh Rasul Allah s.a.w. ditegor dan ditanya apa sebabnya.
Bilal menjelaskan: "Aku baru saja datang dari rumah Fatimah. Ia sedang
menggiling tepung. Al Hasan, puteranya yang masih bayi, diletakkan dalam keadaan
menangis keras. Kukatakan kepadanya "Manakah yang lebih baik, aku menolong
anakmu itu, ataukah aku saja yang menggiling tepung". Ia menyahut:
"Aku kasihan kepada anakku". Gilingan itu segera kuambil lalu aku
menggiling gandum. Itulah yang membuatku datang terlambat!"
Mendengar keterangan Bilal itu Rasul Allah s.a.w. berkata:
"Engkau mengasihani dia dan Allah mengasihani dirimu!" Hal-hal
tersebut di atas adalah sekelumit gambaran tentang kehidupan suatu keluarga
suci di tengah-tengah masyarakat Islam.
Kehidupan keluarga yang penuh dengan semangat gotong-royong.
Selain itu kita juga memperoleh gambaran betapa sederhananya kehidupan
pemimpin-pemimpin Islam pada masa itu. Itu merupakan contoh kehidupan
masyarakat yang dibangun oleh Islam dengan prinsip ajaran keluhuran akhlaq.
Itupun merupakan pencerminan kaidah-kaidah agama Islam, yang diletakkan untuk
mengatur kehidupan rumah-tangga.
Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. dan Sitti Fatimah r.a.,
ketiganya merupakan tauladan bagi kehidupan seorang ayah, seorang suami dan seorang
isteri di dalam Islam. Hubungan antar anggota keluarga memang seharusnya
demikian erat dan serasi seperti mereka. Tak ada tauladan hidup sederhana yang
lebih indah dari tauladan yang diberikan oleh keluarga Nubuwwah itu. Padahal
jika mereka mau, lebih-lebih jika Rasul Allah s.a.w. sendiri mengehendaki,
kekayaan dan kemewahan apakah yang tidak akan dapat diperoleh beliau? Tetapi
sebagai seorang pemimpin yang harus menjadi tauladan, sebagai seorang yang
menyerukan prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan serta persamaan, sebagai
orang yang hidup menolak kemewahan duniawi, beliau hanya mengehendaki supaya
ajaran-ajarannya benar-benar terpadu dengan akhlaq dan cara hidup ummatnya.
Beliau mengehendaki agar tiap orang, tiap pendidik, tiap penguasa dan tiap
pemimpin bekerja untuk perbaikan masyarakat. Masing-masing supaya mengajar,
memimpin dan mendidik diri sendiri dengan akhlaq dan perilaku utama, sebelum
mengajak orang lain. Sebab akhlaq dan perilaku yang dapat dilihat dengan nyata,
mempunyai pengaruh lebih besar, lebih berkesan dan lebih membekas dari pada
sekedar ucapan-ucapan dan peringatan-peringatan belaka. Dengan praktek yang
nyata, ajakan yang baik akan lebih terjamin keberhasilannya.
Sebuah riwayat lagi yang berasal dari Imam Ali r.a. sendiri mengatakan:
Sitti Fatimah pernah mengeluh karena tapak-tangannya menebal akibat
terus-menerus memutar gilingan tepung. Ia keluar hendak bertemu Rasul Allah
s.a.w. Karena tidak berhasil, ia menemui Aisyah r.a. Kepadanya diceritakan
maksud kedatangannya. Ketika Rasul Allah s.a.w. datang, beliau diberitahu oleh
Aisyah r.a. tentang maksud kedatangan Fatimah yang hendak minta diusahakan
seorang pembantu rumah-tangga. Rasul Allah s.a.w. kemudian datang ke rumah
kami. Waktu itu kami sedang siap-siap hendak tidur. Kepada kami beliau berkata:
"Kuberitahukan kalian tentang sesuatu yang lebih baik daripada yang kalian
minta kepadaku. Sambil berbaring ucapkanlah tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan
takbir 34 kali. Itu lebih baik bagi kalian daripada seorang pembantu yang akan
melayani kalian."
Sambutan Nabi Muhammad s.a.w. atas permintaan puterinya agar
diberi pembantu, merupakan sebuah pelajaran penting tentang rendah-hatinya
seorang pemimpin di dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan seperti itulah yang
diajarkan Rasul Allah s.a.w. dan dipraktekan dalam kehidupan konkrit oleh
keluarga Imam Ali r.a. Mereka hidup setaraf dengan lapisan rakyat yang miskin
dan menderita. Pemimpin-pemimpin seperti itulah dan yang hanya seperti itulah,
yang akan sanggup menjadi pelopor dalam melaksanakan prinsip persamaan,
kesederhanaan dan kebersihan pribadi dalam kehidupan ini.
Putera-puteri
Sitti Fatimah r.a. melahirkan dua orang putera dan dua orang
puteri. Putera-puteranya bernama Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Sedang
puteri-puterinya bernama Zainab r.a. dan Ummu Kalsum r.a. Rasul Allah s.a.w.
dengan gembira sekali menyambut kelahiran cucu-cucunya. Al Hasan r.a. dan Al
Husein r.a. mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hati beliau. Dua orang
cucunya itu beliau asuh sendiri. Kaum muslimin pada zaman hidupnya Nabi
Muhammad s.a.w. menyaksikan sendiri betapa besarnya kecintaan beliau kepada Al Hasan
r.a. dan Al Husein r.a. Beliau menganjurkan supaya orang mencintai dua
"putera" beliau itu dan berpegang teguh pada pesan itu.
Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. meninggalkan jejak yang jauh
jangkauannya bagi umat Islam. Al Husein r.a. gugur sebagai pahlawan syahid
menghadapi penindasan dinasti Bani Umayyah. Semangatnya terus berkesinambungan,
melestarikan dan membangkitkan perjuangan yang tegas dan seru di kalangan ummat
Islam menghadapi kedzaliman. Semangat Al Husein r.a. merupakan kekuatan
penggerak yang luar biasa dahsyatnya sepanjang sejarah.
Puteri beliau yang bernama Zainab r.a. merupakan pahlawan wanita
muslim yang sangat cemerlang dan menonjol sekali peranannya, dalam pertempuran
di Karbala membela Al Husein r.a. Di Karbala itulah dinasti Bani Umayyah
menciptakan tragedi yang menimpa A1 Husein r.a. beserta segenap anggota
keluarganya. A1 Husein r.a. gugur dan kepalanya diarak sebagai pameran keliling
Kufah sampai ke Syam.
Setelah hidup bersuami isteri selama kurang lebih 10 tahun Sitti
Fatimah r.a. meninggal dunia dalam usia 28 tahun. Sepeninggal Sitti Fatimah
r.a., Imam Ali r.a. beristerikan beberapa orang wanita lainnya lagi. Menurut
catatan sejarah, hingga wafatnya Imam Ali r.a. menikah sampai 9 kali. Tentu
saja menurut ketentuan-ketentuan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam satu periode, tidak pernah lebih 4 orang isteri.
Wanita pertama yang dinikahi Imam Ali r.a. sepeninggal Siti
Fatimah r.a. ialah Umamah binti Abil 'Ashiy. Ia anak perempuan iparnya sendiri,
Zainab binti Muhammad s.a.w., kakak perempuan Sitti Fatimah r.a. Pernikahan
dengan Umamah r.a. ini mempunyai sejarah tersendiri, yaitu untuk melaksanakan
pesan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya sebelum ia wafat. Nampaknya pesan itu didasarkan
kasih-sayang yang besar dari Umamah ra. kepada putera-puterinya. Setelah nikah
dengan Umamah r.a., Imam Ali r.a. nikah lagi dengan Khaulah binti Ja'far bin
Qeis. Berturut-turut kemudian Laila binti Mas'ud bin Khalid, Ummul Banin binti
Hazzan bin Khalid dan Ummu Walad. Isteri Imam Ali r.a. yang keenam patut
disebut secara khusus, karena ia tidak lain adalah Asma binti Umais, sahabat
terdekat Sitti Fatimah r.a. Asma inilah yang mendampingi Sitti Fatimah r.a.
dengan setia dan melayaninya dengan penuh kasih-sayang hingga detik-detik
terakhir hayatnya. Isteri-isteri Imam Ali r.a. yang ke-7, ke-8 dan ke-9 ialah
As-Shuhba, Ummu Sa'id binti 'Urwah bin Mas'ud dan Muhayah binti Imruil Qeis.
Dari 9 isteri, di luar Sitti Fatimah r.a., Imam Ali r.a. mempunyai banyak anak.
Jumlahnya yang pasti masih menjadi perselisihan pendapat di kalangan para
penulis sejarah.
Al Mas'udiy dalam bukunya "Murujudz Dzahab" menyebut
putera-puteri Imam Ali r.a. semuanya berjumlah 25 orang. Sedangkan dalam buku
"Almufid Fil Irsyad" dikatakan 27 orang anak. Ibnu Sa'ad dalam
bukunya yang terkenal, "Thabaqat", menyebutnya 31 orang anak, dengan
perincian: 14 orang anak lelaki dan 17 orang anak perempuan. Ini termasuk
putera-puteri Imam Ali r.a. dari isterinya yang pertama.
PERANAN KEPAHLAWANAN
Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih
dan alasan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum
berlaku baginya, karena ketika ia memeluk Islam usianya masih sangat muda,
malahan dikatakan "masih kanak-kanak". Alasan seperti itu tampak
sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun, bukan seorang
kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan
masa akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima
penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik.
Fikiran dan perasaannya pun sudah berada dalam tingkatan aktif, dapat
membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan, mana yang
mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal dan mana yang tidak.
Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung
diasuh, dibimbing dan dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem
pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru yang paling tepat bagi
seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama 6 tahun.
Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah
mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana.
Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a.
telah dipersiapkan oleh gurunya untuk menyongsong datangnya masa pancaroba yang
akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 13
tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, yang akan
menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa
hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat
waktunya itulah, yang kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali
r.a. sebagai orang yang teguh imannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang
dilancarkan orang-orang kafir Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam
Ali r.a. ikut langsung menghayati kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi
akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta
Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam Ali r.a. ikut
berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam.
Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam
Syi'ib, Imam Ali r.a. memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk
menerima pendidikan tauhid dan ilmu-ilmu Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah
s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh orang mukmin manapun.
Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu
fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan
tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa
Jalla.
Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu
disaksikan oleh para sahabat dekat dan terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq
r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal itu tercantum dalam
Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari
Ibnu Abbas.
Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu
Ubaidah bersama beberapa orang sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu
Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin Abi Thalib sedang berdiri di pintu.
Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Ia
menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar, kami segera
berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk
bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang
pertama yang beriman, seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari
Allah (hari-hari turunnya nikmat dan cobaan), paling setia menepati janji,
paling adil dalam bertugas melakukan pembagian ghanimah, paling bercinta-kasih
kepada rakyat, dan paling banyak menderita."
Membela
Kebenaran
Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran,
Imam Ali r.a. juga terkenal sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan
berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna
dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi
seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya.
Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya yang penuh kepada
Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama.
Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam
perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta
iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benar-benar mempunyai syarat
fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan
yang serba berat. Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi
yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a. selalu tampil memainkan peranan menentukan.
Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup santai. Sejak muda remaja sampai
akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan lain, dan dari
pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali
nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan
Rasul-Nya, ia senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih
yang menjadi pemikirannya siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan
Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan
kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang
berani hidup di atas kebenaran dan keadilan. berkali-kali imannya yang teguh
diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga lulus dengan
meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi
pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke
Madinah.
Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan
kafir Qureiys mengepung kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak
membunuh beliau, bilamana beliau meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam
Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta oleh Rasul Allah s.a.w. supaya
tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna
mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a.
menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan
karena ia khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu
berkemas-kemas hendak hijrah meninggalkan kampung halaman. Melihat Imam Ali
menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah
engkau takut mati?".
Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul
Allah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku sangat khawatir
terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya R,asul Allah?"
"Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak
ragu-ragu. Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali
r.a. terus berkata: "Baiklah, aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku
rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasul Allah!"
Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w.
Kemudian berselunjur mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat
itu orang-orang kafir Qureiys sudah mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul
Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan. Dengan perlindungan Allah
s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar tanpa diketahui
oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys itu
menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi
Muhammad s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys
yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara
serentak. Dengan cara demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut
balas.
Imam
Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir
Qureiys terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal
itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar
biasa, ia berserah diri pada Allah s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang
menentukan segala-galanya.
Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus
menyerbu ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana
Muhammad? Mana Muhammad?"
"Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali
r.a. dengan tenang. Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut
rumah. Usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati
mereka bertanya-tanya: "Kemana ia pergi?" Dalam suasana gaduh Imam
Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?""Mana, Muhammad? Mana
Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula."Apakah kalian
mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada
memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiriberniat mengeluarkannya dari
negeri ini? sekarang ia sudah keluar meninggalkan kalian!"
Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan
keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak
dihiraukan, bahkan orang-orang Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya
ada seorang saja dari gerombolan itu mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a.,
entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu.
Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan
segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim,
terutama Sitti Fatimah r.a., menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam
hijrahnya ke Madinah. Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali
r.a. berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka
babak konfrontasi bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin.
Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang
pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang
kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan
berkuda Qureiys yang
Wafat
Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa Imam Ali r.a.
harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17 Ramadhan, tahun
40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a. sedang menuju masjid, sesudah mengambil air
sembahyang untuk melakukanshalat subuh, tiba-tiba muncul Abdurrahman bin Muljam
dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal ulung itu tak sempat lagi
mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat mengenai kepalanya. Luka
berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali ke rumah.
Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tindakan
balas dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang
dada dan ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada
isyarat apa pun yang diberikan ke arah itu.
Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya merasa sedih.
Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang sebesar-besarnya
dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia dapat
melanjutkan perjuangan menghapus penderitaan manusia.
Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan tabib terbaik
di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka, bernama Atsir Ibnu
Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan hati cemas dan
suara putus asa, Atsir memberi tahu: "Ya Amiral Mukminin, berikan sajalah
apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu mengenai selaput
otak anda."
Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan nasib sepenuhnya
kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan r.a. dan Al
Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang penuh dengan pengalaman-pengalaman pahit
dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya, Imam Ali r.a.
menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi nilainya. Hal itu dituangkan
dalam wasiyat yang diberikan kepada putera-puteranya beberapa saat sebelum
meninggalkan dunia yang fana ini. Abu Ja'far Muhammad bin Jarir At Thabariy
dalam Tarikh-nya dan Abu Faraj Al Ashfahaniy dalam Maqatilut Thalibiyyin masing-masing
mengetengahkan wasiyat Imam Ali r.a. sebagai berikut: "Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa
Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama
yang benar, untuk dimenangkan atas agama-agama lain, walau kaum musyrikin tidak
menyukainya. Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya
kupersembahkan kepada Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun
bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama.
"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada
Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar dunia walau dunia mengejar kalian, dan
janganlah menyesal jika ada sebagian dunia itu lepas meninggalkan kalian.
Katakanlah hal-hal yang benar dan berbuatlah untuk memperoleh pahala akhirat.
Jadilah kalian penentang orang dzalim dan pembela orang madzlum."
"Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua
anak-anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku
ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendaknya kalian mengatur
baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian.
Sebab aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan
menjaga baik-baik hubungan persaudaraan antara sesama kaum muslimin lebih
afdhal daripada sembahyang dan puasa umum. Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu
merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada kekuatan apa pun selain atas
perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak famili kalian dan eratkan hubungan
dengan mereka, Allah akan melimpahkan kemudahan kepada kalian di hari
perhitungan kelak."
"Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak yatim. Janganlah
mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak. Aku mendengar
sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang siapa mengasuh anak yatim sampai ia
menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh Allah. Sama
halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada orang yang
memakan harta anak yatim."
"Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur'an, jangan sampai
kalian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…, Allah…, perhatikanlah
tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat Nabi kalian.
Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiatkan, sampai kami menduga bahwa beliau
akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…, perhatikanlah rumah
Allah, masjid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama kalian masih hidup.
Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan dipandang orang. Barang
siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah
lalu. Allah…, Allah…, peliharalah shalat baik-baik, sebab shalat itu amal
perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama kalian. Allah…, Allah…, tunaikanlah
zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu meniadakan murka Allah. Allah…,
Allah…, laksanakanlah puasa bulan Ramadhan, sebab puasa itu merupakan penutup
jalan ke neraka."
"Allah…, Allah…, berjuanglah di jalan Allah dengan harta
dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam saja orang yang berjuang di jalan Allah,
yaitu seorang pemimpin yang memberikan bimbingan dan orang yang patuh kepada
pemimpin serta mengikuti kebenaran pimpinannya. Allah..., Allah…, jagalah
baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dianiaya orang di depan
mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang tidak mengada-adakan
bid'ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang mengadaadakan bid'ah
mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat tentang mereka itu, dan
mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan mereka, yang mengada-adakan
bid'ah mungkar dan mengutuk pula orang-orang yang memberi perlindungan kepada
mereka."
"Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir miskin. Ikut
sertakan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah baikbaik wanita
kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w. mewasiyatkan
supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu kaum
wanita dan para hamba sahaya."
Setelah berhenti sebentar untuk memulihkan tenaga yang semakin
melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan: "Dalam menjalankan kewajiban terhadap
Allah, janganlah kalian takut dicela orang lain. Allah akan melindungi dan
menyelamatkan kalian dari orang-orang yang hendak berbuat jahat terhadap
kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang sebagaimana telah diperintahkan
Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah meninggalkan amr ma'ruf dan nahi
mungkar, agar Allah tidak melimpahkan kekuasaan kepada orang-orang yang
berperangai jahat. Sebab dalam keadaan seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan
lagi."
"Hendaknya
kalian saling berhubungan erat, saling tolong-menolong dan saling
bercinta-kasih. Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, saling bertolak
belakang atau bercerai-berai. Hendaknya kalian saling bantu-membantu dalam
kebajikan dan taqwa, dan janganlah saling-bantu dalam berbuat dosa dan permusuhan."
"Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya siksa
Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan memelihara kalian,
hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui kalian. Kuucapkan
selamat tinggal sebaik-baiknya kepada kalian dan kuucapkan pula
Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh…"
Ibnul Atsir meriwayatkan, bahwa sesudah Imam Ali r.a.
menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a. dan Al Husin r.a., ia menoleh
kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah, lalu bertanya:
"Apakah engkau sudah memahami benar-benar apa yang kuwasiyatkan kepada
kedua orang saudaramu?"
"Ya," jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah. "Kepadamu
juga kuwasiyatkan," kata Imam Ali r.a. meneruskan: "hal yang sama
seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang
saudaramu yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa
pun."
Selesai
menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul Hanafiyah, Imam Ali r.a. menambahkan
wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al Husein r.a. "Kuwasiyatkan kepada
kalian berdua supaya menjaga dia (Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab
dia itu saudara kalian sendiri dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa
ayah kalian juga mencintai dia…" Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya
tentang Abdurrahman bin Muljam. Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata:
"Perhatikanlah orang yang memukulku. Berilah ia makan seperti makananku
dan minuman seperti minumanku!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar